MENYAHABATI PERAN LUKA DALAM HIDUP (SEBENTUK UNGKAPAN SAYANG PADA DIRI SENDIRI) Bagian 1


                                         

Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk.

( Tan Malaka )

 

Setiap orang pasti pernah mengalami perasaan sepi dan diabaikan. Cinta ditolak. Kasih tidak dipedulikan. Bagai memasuki malam gelap tanpa cahaya. Ibarat berjalan di lorong gulita yang panjang dan menyakitkan. Cinta sejati baru ada bila orang berani terluka. Karakter akan terbentuk justru bila orang berani terbanting dan terbentur.

( Bunda Teresa )

 

Masalah bukanlah masalah, masalah adalah sikapmu dalam menyelesaikannya.

( Jack Sparrow – The Pirates Of Carribean )


Hidup adalah jalan panjang pembelajaran yang membentang sampai ke liang lahat. Suka tidak suka, kita pasti mendapatkan pelajaran itu dalam berbagai bentuk kemasan. Dari setiap hal yang datang dan terjadi, selalu menyelipkan sebuah pesan sarat makna yang terkadang sulit kita baca dan pahami pada awalnya.

Tak ada yang bisa memprediksi datangnya duka dan luka dalam hidup. Sering disaat kita tidak siap. Di saat kita sedang berharap yang baik. Di saat kita membutuhkan. Di kala semuanya berjalan tanpa masalah. Tiba-tiba saja luka berikut rasa sakit itu datang sebagai kenyataan baru yang merenggut kenyamanan hidup. Sebuah ketidakabadian dalam bentuk sederhana yang niscaya, namun tetap saja sukar diterima dengan lapang dada. Terbukti kita masih selalu berandai-andai untuk bisa menghindarinya, padahal semuanya telah terjadi.

Dalam bentuk apapun luka itu, entah sebuah goresan kecil, sayatan, memar, atau bahkan lebih parah lagi untuk dideskripsikan bentuknya. Tapi yang bisa kita rasakan hanya sakitnya. Ada pendapat orang bijak yang mengatakan, semakin sering terluka kita jadi lebih kuat. Kita jadi terbiasa dengan perihnya dan memiliki daya tahan yang lebih baik dari sebelumnya. Hanya saja tidak semua orang mampu memulihkan luka batin yang didapat dari kekecewaan, rasa bersalah, kebenciaan, kehilangan atau hal-hal buruk yang datang dalam hidupnya di masa lalu. Butuh proses yang tidak mudah untuk membuatnya pulih berikut dukungan sepenuh hati dari orang sekitar.

Orang bijak juga mengatakan, waktu adalah penyembuh terbaik. Tapi jika kita hanya bergantung pada waktu tanpa ada upaya dari diri sendiri untuk mengobatinya, tentu proses pemulihan itu akan berlangsung lama. Bahkan bisa jadi tidak ada proses pemulihan sama sekali. Banyak cerita memprihatinkan tentang orang-orang yang menanggung derita sampai mati karena masih menyimpan dendam, kesedihan, kekecewaan dan amarah. Rasanya menyedihkan, menyia-nyiakan hidup dengan menghabiskannya tanpa memberi arti apapun, bahkan untuk merasakan kebahagiaan.

Tentu kita harus menghindari efek buruk luka batin yang berlarut-larut tersebut. Life must go on, hidup harus terus berlanjut. Untuk melanjutkannya dengan tenang dan bahagia, butuh keberanian untuk menerima luka itu hadir sebagai bagian dari fase hidup yang kita lalui. Kita melatih diri terus menerus untuk bisa berlapang dada. Ikhlas, karena pada kenyataannya kemampuan diri untuk memaafkan dan menerima harus sebanding lurus dengan kerendahan hati untuk melakukan intropeksi dan evaluasi diri. Menyadari bahwa semua terjadi karena selain sudah menjadi kehendak-Nya, kita juga memiliki peran disitu. Kesadaran menjadi sebuah jalan kecil yang membuka proses pemulihan luka batin menjadi lebih cepat. Dengan menerima, memaafkan dan melepaskan, kita perlahan bangkit dari rasa sakit dan sedih.

Selain itu proses pemulihan luka batin juga butuh lingkungan dengan support system yang baik. Jika tidak ada, maka memutus mata rantai lingkungan yang toxic adalah cara terbaik. Karena tidak semua orang bisa paham luka batin orang lain. Termasuk lingkup keluarga sendiri. Sampai saat ini saja, pemilik trauma dari kejadian buruk di masa lalu masih sering dianggap berlebihan dan tidak bisa move on. Status janda, anak broken home, single mom by choice, anak putus sekolah, korban pelecehan dan kekerasan seksual atau korban KDRT, adalah segelintir contoh pihak selalu disudutkan dengan stigma negatif. Bahkan karena dilontarkan dalam candaan, orang-orang kemudian menganggapnya hal yang biasa. Padahal itu jelas semakin membuat luka batin semakin dalam. Jika saja mau melihat lebih dekat dan meluangkan waktu untuk mendengarkan, stigma negatif itu akan berubah menjadi empati yang memberik dukungan moral. Membantu orang dengan luka batin akibat kejadian buruk tersebut untuk bisa sembuh dan melanjutkan hidup dengan baik.

Luka batin yang tidak ditangani dengan baik selalu berimbas pada kesehatan fisik dan kejiwaan, yang kemudian menimbulkan masalah baru. Contohnya menyebabkan perilaku seseorang menjadi destruktif, membalas luka dengan membuat luka.  Menyakiti orang lain untuk melampiaskan rasa dendam atau sakit dalam hati, meski sebenarnya justru semakin melukai diri sendiri. Membuat diri jadi pusat perhatian dan memiliki pengaruh berbahaya, tapi itu tidak lebih dari pelampiasan dari rasa sakit dan menunjukkan sisi lemah dirinya secara emosional. Disisi lain, luka batin membuat orang membenci dirinya sendiri. Upaya bunuh diri, melukai diri sendiri, menjadi manusia anti sosial, cenderung psikopat atau selalu mengasihani diri adalah contohnya.

Apalagi saat ini peran media sosial pun memiliki pengaruh besar memfasilitasi semua itu.Terlebih semakin terbatasnya waktu dan kenyamanan ruang bicara dari hati ke hati di dunia nyata. Ditambah minimnya kemampuan personal untuk mendengarkan, bersikap bijak dan pengertian, serta upaya melihat segala sesuatu lebih dekat. Orang-orang kemudian bebas mengekspresikan sisi emosionalnya. Kecewa, marah, benci dan dendam menjadi bahan bakar postingan media sosial saat ini. Pemantiknya adalah hal-hal sepele yang memicu konflik baru dari konflik dengan diri sendiri yang tidak terselesaikan. Padahal jika mau jujur, nun di lubuk hati yang tak tersentuh riak ego, banyak yang merasa sepi sendiri. Sadar sepenuhnya itu salah, tapi terlalu angkuh mengakui dan belum mampu membenahi diri. Pertanyaan yang kemudian hadir, mau sampai kapan kita berada dipusaran self-toxic itu?

Secara nyata kita bisa melihat bagaimana luka batin itu memberi dampak negatif bagi kesehatan. Rasa cemas, sedih dan amarah yang dipendam berlebihan memunculkan keluhan-keluhan fisik. Banyak yang mengalami insomnia, gangguan metabolisme, merasakan nyeri perut karena asam lambung, nyeri syaraf, dan keluhan kesehatan lain yang selalu ditangani dengan mengkonsumsi banyak obat-obatan medis. Tentu saja hal tersebut memiliki efek samping. Padahal sumber semuanya adalah pembiaran karena ketidakmampuan mendiagnosa serta melakukan penanganan yang keliru terhadap luka batin yang kita alami.

Ketidakmampuan mendiagnosa luka batin terjadi karena kita sulit menerima kenyataan tentang diri sendiri apa adanya. Kebanyakan kita terperangkap dalam jebakan bahwa kita harus menyenangkan semua orang. Kita dituntut harus terus sempurna, tampak kuat, baik-baik saja dan bahagia setiap waktu. Padahal kita ini manusia, ada masa-masa kita rapuh, kita tidak terima diperlakukan buruk, ingin menangis lepas dan meluapkan apa yang terasa di dalam hati. Kita cenderung tergagap, risih, canggung, tidak nyaman bahkan mentertawakan bila sesuatu itu tampak tidak baik. Lupa bahwa dunia ini adalah tempat bagi ketidaksempurnaan. Lupa bahwa hidup dunia juga berputar dan banyak kemungkinan tanpa diduga akan terjadi. Kesedihan orang lain yang kita anggap remeh hari ini bisa jadi besok menimpa kita. Masa terpuruk teman yang kita tertawakan suatu hari juga akan datang dalam kehidupan kita. Bahkan mungkin levelnya lebih parah.

Tapi sekali lagi, menemukan sebuah tempat aman dengan orang yang memiliki kemampuan sebagai pendengar yang baik, tidak menghakimi, tidak membuat segalanya bagai sebuah kompetisi dan bahan perbandingan ( selalu mengatakan dengan nada tidak mau kalah, “ Masalahmu itu belum seberapa, yang kuhadapi lebih berat, bla,bla,bla...”), dan menjadikan kita tersudut dengan tanggapannya, itu tidaklah mudah. Alih-alih bahunya bisa untuk bersandar, tangannya terulur menggenggam dan menguatkan, atau sekedar mendapatkan segelas air putih dan sebuah ucapan ringan “ Jangan kuatir, semua akan baik-baik saja”, dalam sebuah senyuman teduh. Berlebihankah berekpektasi demikian? Tentu saja tidak. Bagi yang pernah mengalami masa-masa sulit atau berada diposisi rapuh-serapuhnya pasti tahu, sikap sederhana yang diberikan seperti itu sangatlah berarti.


Berlanjut pada edisi berikutnya...


Terima kasih sudah membaca ❤❤

                                                                                     

*********

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SALAM PEMBUKA ; SECANGKIR TEH DAN PISANG REBUS UNTUK DIRI SENDIRI