BERTUMBUH MENGUAT DENGAN LUKA ( SEBENTUK UNGKAPAN SAYANG PADA DIRI SENDIRI ) Bagian 2 - Selesai

 



" Bagian terburuk tentang menjadi kuat adalah tidak ada yang bertanya apakah anda baik-baik saja." -  Clark Kent ( Superman )                                                                                

Dear, Puan-tastic People!

Saya hadirkan kembali tulisan terbaru, melanjutkan tulisan sebelumnya tentang peran luka dalam hidup.

Setelah mengetahui proses yang tidak mudah dalam memulihkan luka batin, selain membutuhkan dukungan moral dari keluarga, teman dan lingkungan sekitar, bahkan harus melibatkan pendampingan dari psikolog maupun psikiater, selanjutnya hal yang sangat penting dalam mendukung proses pemulihan tersebut kerendahan hati untuk melakukan penerimaan diri.

Kenapa penerimaan diri sangat penting? Pertama, membuat kita terhindar dari jebakan rasa mengasihani diri terus menerus. Sehingga membuat pemulihan kita tidak berjalan dengan baik. Mengasihani diri berbeda pengertiannya dengan self love. Mengasihani diri justru membuat kita akan menyalahkan pihak lain terus menerus, atau bahkan selalu menyalahkan diri sendiri. Selain itu membuat kita selalu meratapi diri yang kita anggap malang dan sial, menempatkan diri sebagai pihak yang teraniaya dan butuh banyak perhatian. Sebentuk perlindungan diri dengan segala strategi yang dibangun oleh ego.

Akibatnya kesehatan mental kita terganggu. Bahkan terlalu mengasihani diri memberikan peluang untuk melakukan tindakan-tindakan yang merugikan diri kita sendiri.  Sedangkan self love adalah sikap yang membuat kita tahu apa yang harus dilakukan   diri segera pulih, terhindar dari masalah dan menemukan solusinya agar bisa menikmati hidup dengan bahagia.

Kedua, penerimaan diri merupakan bentuk kesadaran diri bahwa kita harus berbenah dan menata hidup lebih baik. Dalam penerimaan diri kita mulai belajar berlapang dada untuk intropeksi dan mengevaluasi diri. Penerimaan diri membuat kita mengenali apa saja yang menyebabkan kita mudah sakit hati, marah, sedih, merasa takut atau cemas berlebihan ketika menghadapi sesuatu. Termasuk dalam berinteraksi atau menjalin relasi dengan orang lain. Hal ini dikarenakan pemilik luka batin memiliki kecenderungan memiliki pemikiran, perasaan dan perilaku yang sama saat mengalami kejadian yang mirip. Sehingga mengingatkan mereka pada rasa sakit yang selama ini terpendam.

Misalnya rasa emosional dan sensitif luar biasa saat setiap kali berhadapan dengan anggota keluarga atau lingkungan pergaulan yang sering mengolok-ngolok atau menghakimi. Rasa benci pada pasangan yang ketahuan selingkuh, teman yang sering melecehkan, mendendam pada orang tua yang kasar atau pada guru yang diskriminatif dan lainnya. Dengan mulai menyadari adanya pola yang sama dan berulang terjadi, kita belajar mendeteksi hal-hal yang negatif yang akan muncul pada diri kita dan mencari solusi yang positif untuk menghindarinya. Kita belajar meminimalisir emosi negatif dari keluhan-keluhan yang sama dan selalu kita rasakan atau ungkapkan saat berhadapan atau mengalami kejadian yang mengingatkan kita pada luka batin yang sebelumnya terjadi.

Solusi-solusi untuk pemulihan yang kita dapatkan kemudian, juga membutuhkan proses untuk diwujudkan. Mungkin tidak mudah, bertahap dan butuh waktu yang lama. Dibutuhkan juga keberanian untuk mengolah dan membiasakan diri tetap berada dalam vibrasi positif. Termasuk bisa keluar dari lingkungan yang toxic, menjadi pribadi yang masa bodo terhadap omongan negatif orang lain, menjadi pribadi yang lebih kuat dan mampu memutus rantai keburukan yang diterima selama ini agar tidak terulang kepada orang lain.

Disisi lain, solusi pemulihan bahkan juga ada yang membutuhkan biaya. Terutama bagi yang mengalami luka batin yang berat dan tidak mampu mengatasi sendiri pemulihan trauma yang dialaminya. Sehingga membutuhkan pendampingan dari psikolog bahkan psikiater.

Mengingat tidak mudahnya proses pemulihan luka batin tersebut, sudah seharusnya kita mulai melatih berempati kepada siapapun. Tak ada seorang pun yang menginginkan luka batin hadir dalam hidupnya. Entah itu terjadi saat anak-anak, remaja atau bahan setelah dewasa. Entah melalui konflik keluarga, perselingkuhan, perceraian, perundungan, diskriminasi berbagai hal dalam hidup, tindak kejahatan orang lain, kekerasan, pelecehan atau pembiaran dan lain sebagainya. Mari kita membiasakan diri menjadi orang yang peduli tanpa menghakimi. Menjadi pendengar yang baik, bukan menjadi si penceramah yang sok tahu terhadap masalah apapun yang dihadapi orang disekitar kita.

Bagi survivor pemulihan, jangan ragu bergabung dengan grup atau komunitas-komunitas penaung dan pemberi support system bagi masalah pemulihan luka batin, yang menjaga privasi keaggotaan pengikutnya di media sosial. Selain membantu proses kita sembuh, juga membantu kita tumbuh lebih kuat dan berdaya. Kita mendapatkan banyak hal positif dari pendiri, administrator dan sesama anggota melalui postingan, temu diskusi atau pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuan diri baik secara langsung maupun secara daring.

Kemudian sebaiknya hindari bergabung dalam grup atau komunitas-komunitas yang mengatasnamakan kebersamaan atau kreativitas, tapi membuat kita sebagai objek olok-olok atau memicu emosi negatif kita keluar. Alih-alih menjadi pulih dan semakin berdaya. Beri sebanyak-banyaknya vibrasi positif pada diri sendiri. Tidak salah jika memblokir, menjauhi atau bahkan memutus relasi terhadap orang-orang yang kita anggap tidak membawa dampak positif dalam hidup kita. Itu sebagai bentuk sikap mengapresiasi dan menghargai diri sendiri..

Jalan panjang penerimaan diri dalam proses pemulihan luka batin pada akhirnya, membuat kita menyadari bahwa suka atau tidak, kita juga punya peran sehingga luka batin itu ada. Menerima kenyataan bahwa jika pun kita tak memiliki andil, tapi kita terpilih dan dipercaya untuk merasakan luka tersebut. Kita sadari dalam hidup ada hal-hal yang tak bisa kita hindari untuk terjadi pada diri kita, dan itu disebut sebagai takdir. Penerimaan diri dalam proses pemulihan kemudian membawa kita ke satu titik akhir yang melegakan, yaitu memaafkan dengan ikhlas.

Semesta dan segala isinya diciptakan dengan sebuah alasan. Begitupun setiap hal yang terjadi dalam hidup ini. Tak ada yang serba kebetulan. Didalam setiap kejadian yang disebut orang sebagai kebetulan itu selalu ada sebuah rencana terbaik yang sudah diatur sedemikian rupa oleh Sang Penulis Skenario Kehidupan. Pada watu tak terduga kita akan terperangah menyadari bahwa skenario-Nya itu selalu indah dan tak pernah salah.

Dengan sifat Mahatahu dan Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, boleh jadi apa yang kita anggap buruk sebetulnya baik untuk kita, dan boleh jadi hal baik menurut kita justru membawa keburukan. Dia juga tidak akan membebani melebihi kemampuan kita. Janji-Nya selalu benar, hanya saja kita selalu ingkar dan enggan merendah untuk belajar, termasuk menerima diri sendiri seapaadanya.

Barangkali setelah terluka dan pulih kita tetap dipandang sebagai sosok yang sama oleh orang lain, tapi fondasi mental dan spiritual kita tidak sama lagi. Kita tumbuh menjadi orang yang mampu melihat segala sesuatu dengan sudut pandang berbeda. Bisa jadi kita bukan lagi orang yang sama, karena luka telah melatih kita bagaimana menjadi lebih dari sekedar kuat, tapi juga berdaya dan terus tumbuh menjadi pribadi lebih baik dan semakin peduli pada sesama.

Mengutip paragraf terakhir cerpen Rongga* karya Novia Kusumawardhani, 

“Berterima kasihlah kepada kesedihan dan air mata, karena bersamanya kita belajar kekuatan yang sempurna. Sebuah lingkaran tidak harus bulat penuh seperti halnya garis tidak selalu lurus. "*

Ya, meski dirasakan begitu sakit, sekian lama ditanggungkan dan kita perjuangkan pemulihannya, hadirnya luka dalam hidup tetap memiliki makna.

*( dimuat di Kompas Minggu, 29 Agustus 2010.

Terima kasih Puan-tastic People, sudah mampir dan membaca tulisan saya ❤❤❤


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SALAM PEMBUKA ; SECANGKIR TEH DAN PISANG REBUS UNTUK DIRI SENDIRI