CATATAN DARI PERINGATAN HARI AYAH DARI SEORANG IBU TUNGGAL
𝙋𝙚𝙧𝙞𝙣𝙜𝙖𝙩𝙖𝙣 𝙝𝙖𝙧𝙞 𝙖𝙮𝙖𝙝, 𝙚𝙣𝙩𝙖𝙝 𝙞𝙩𝙪 𝙨𝙠𝙖𝙡𝙖 𝙣𝙖𝙨𝙞𝙤𝙣𝙖𝙡 𝙖𝙩𝙖𝙪𝙥𝙪𝙣 𝙞𝙣𝙩𝙚𝙧𝙣𝙖𝙨𝙞𝙤𝙣𝙖𝙡, 𝙗𝙖𝙜𝙞 𝙖𝙣𝙖𝙠-𝙖𝙣𝙖𝙠 𝙞𝙗𝙪 𝙩𝙪𝙣𝙜𝙜𝙖𝙡 𝙠𝙖𝙧𝙚𝙣𝙖 𝙥𝙚𝙧𝙘𝙚𝙧𝙖𝙞𝙖𝙣, 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠𝙡𝙖𝙝 𝙨𝙚𝙡𝙖𝙡𝙪 𝙢𝙚𝙣𝙮𝙚𝙣𝙖𝙣𝙜𝙠𝙖𝙣.
Ada ingatan-ingatan manis dan pahit bercampur kerinduan mengenang sosok ayah yang tak terungkap dengan baik pada si anak, karena masih belum pulihnya luka batin pada ibu tunggal itu sendiri. Sehingga sosok ayah hadir dengan penuh muatan kebencian dan amarah yang belum usai dari si ibu, membuat anak bungkam dalam kebingungan. Antara ingatan tentang sosok ayah terbangun selama ini dalam kenangan mereka, dan gambaran sosok ayah dalam pandangan si ibu. Ditambah lagi bagi si ayah, sosok ibu anaknya yang notabene adalah mantan istrinya juga adalah sosok yang tidak bersahabat, selalu mengungkit masalah, banyak menuntut dan juga layak di benci.
Anak sebenarnya ingin jujur mengidentifikasi sebenarnya bagaimana perasaan
mereka tanpa pengaruh apapun. Jika rindu dan sayang, ya begitulah adanya. Bukan
terpaksa membenci atau ketakutan karena pengaruh perasaan si ibu. Alasan bercerai adakalanya perlu dijelaskan pada si anak, tapi tentu saja tanpa membuat anak membenci
sosok ayahnya. Jika memang anak benar tidak suka dan membenci ayahnya karena
rekam jejak perlakuan ayah yang buruk padanya, itu pun sebaiknya juga perlu di berikan
bantuan konseling, agar pulih luka batinnya dan mentalnya terjaga baik hingga
dewasa.
Kelapangan hati, kedewasaan bersikap dan berpikir memang betul-betul
terbentur dan terbentuk dalam proses
co-parenting. Banyak faktor yang membuat ayah dan ibu yang telah bercerai,
sulit untuk berdamai dan menjalin co-parenting dengan baik. Meski sebetulnya
co-parenting itu adalah hak anak dan untuk memenuhi kebutuhan cinta kasih pada anak. Mereka tahu ayah dan
ibunya telah bercerai dan itu sudah menyedihkan. Tapi mereka juga tahu pada akhirnya bahwa
ayah dan ibunya tidak pernah meninggalkan mereka, masih ada buat mereka, masih
tetap menyayangi mereka, masih memberikan contoh yang baik di depan mereka, meski diam-diam kedua orang tuanya harus berjuang menyampingkan urusan perasaan dan ego diri.
Tapi sekali lagi, ini sangat tidak mudah. Menurut saya hanya orang-orang
pilihan yang bisa sampai di fase ini, apalagi fase ini ada yang memulai sejak
rencana perceraian dibicarakan, dan tentu itu sangat jarang. Saya termasuk bagian
dari yang masih terus berusaha hingga saat ini. Terutama berusaha berdamai pada diri sendiri, sadar diri dan realistis. Saya belajar menerima kenyataan bahwa tidak semua pasangan yang bercerai bisa
terjaga baik relasi dan komunikasinya meskipun itu demi anak. Saya belajar memahami bahwa memang ada
karakter-karakter manusia yang sulit untuk diubah dan merasa lebih nyaman hidup
dalam prasangka dan pandangannya saja.
Belajar terus menaklukan kebencian dan rasa marah memerlukan latihan-latihan yang terus dipraktikkan. Karena memelihara kebencian itu seperti
mempertemukan pemantik dan pertamax (𝘣𝘦𝘯𝘴𝘪𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘭𝘪𝘵𝘦 𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘬𝘪𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 #𝘦𝘩). Ia akan menjalar cepat, memanas, menyala dan membakar hebat dan menghanguskan
apapun yang dilewatinya tanpa melihat lebih dulu bagian-bagian dari sisi lain yang harus dibiarkan tetap tumbuh dan hidup. Bagian-bagian dari sisi lain itu adalah jiwa anak saya yang butuh berkembang dalam kedamaian dan kebahagiaan, meski dibesarkan hanya oleh
ibunya saja.
Komentar
Posting Komentar